Pengaruh Pangan terhadap ketahanan nasional
Ketahanan pangan ialah kondisi dimana setiap
individu mampu secara fisik dan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang
cukup, aman dan bergizi bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Pemenuhan
kebutuhan pangan penduduk secara merata dengan harga yang terjangkau juga tidak
boleh dilupakan.
Kondisi iklim yang ekstrim di berbagai belahan dunia
baru-baru ini secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi
ketersediaan pangan. Kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir
serta bencana alam lainnya di berbagai wilayah dunia terutama di sentra-sentra
produksi pangan, sangat mempengaruhi ketersediaan gandum dan tanaman
bijian-bijian lainnya yang tentu saja berdampak pada ketersediaan produk pangan
tersebut untuk marketing season 2010/2011.
Menurut FAO jumlah penduduk dunia yang menderita
kelaparan pada tahun 2010 mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah
dengan semakin berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah
berlangsung selama 20 tahun terakhir, sementara sektor pertanian menyumbang 70%
dari lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekhawatiran
akan makin menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya kelaparan, kekurangan
gizi dan akibat-akibat negatif lain dari permasalahan tersebut secara
keseluruhan akan menghambat pencapaian goal pertama dari Millennium Development
Goals (MDGs) yakni eradication of poverty and extreme hunger.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah
krusial. Pangan merupakan basic human need yang tidak ada substitusinya.
Indonesia memandang kebijakan pertanian baik di tingkat nasional, regional dan
global perlu ditata ulang. Persoalan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian
harus kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan nasional dan global.
Oleh karena itu Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang upaya bersama
mewujudkan ketahanan pangan global dan regional.
Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian,
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan Indonesia selaku koordinator G-33
secara aktif mengedepankan isu food security, rural development dan livelihood
security sebagai bagian dari hak negara berkembang untuk melindungi petani
kecil dari dampak negatif masuknya produk-produk pertanian murah dan bersubsidi
dari negara maju, melalui mekanisme special products dan special
safeguard mechanism.
Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga
stabilitas ketahanan pangan global, Indonesia juga telah menandatangani Letter
of Intent (LoI) dengan FAO pada bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan
Indonesia terhadap berbagai program peningkatan ketahanan pangan global dan
pembangunan pertanian negara-negara berkembang lainnya. terutama dalam
kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), kerjasama teknis
negara-negara berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian goal dari MDGs.
Penandatanganan LoI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran Indonesia
dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang,
terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah berjalan sejak
tahun 1980.
2.2 Sistem Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem
ekonomi pangan yang terdiri dari subsistem ketersediaan meliput produksi ,
pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang
saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut
merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya
alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini akan hanya akan berjalan
dengan efisien oleh adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi
pemerintah.
Partisipasi masyarakat ( petani, nelayan dll) dimulai
dari proses produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan
di bidang pangan. Fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk
kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang perdagangan, pelayanan dan
pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan.
Output dari pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, SDM
berkualitas, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.
Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi,
cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini
berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari
sisi jumlah, kualitas, keragaman maupun keamanannya. Acuan kualitatif untuk
ketersediaan pangan adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekomendasi Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VIII Tahun 2004, yaitu energi sebesar 2200
kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/kapita/hari. Acuan untuk menilai tingkat
keragaman ketersediaan pangan adalah Pola Pangan Harpan dengan skor 100 sebagai
PPH ideal. Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin
terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional. Hal
ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial – ekonomi;
1.
1. Teknis
1.
Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih
lahan pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju
1%/tahun).
2.
Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak
meningkat.
3.
Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
4.
Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah
selama krisis dan kemampuannya semakin menurun.
5.
Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan
pasca panen (10-15%).
6.
Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino
yang berdampak pada musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan banjir .
2.
2. Sosial-Ekonomi
1.
Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin
oleh pemerintah.
2.
Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam
produksi pangan karena besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani)
dengan lahan produksi yang semakin sempit dan terfragmentasi (laju 0,5%/tahun).
3.
Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan
yang wajar dari pemerintah kecuali beras.
4.
Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk
kebijakan tarif impor yang melindungi kepentingan petani.
5.
Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif
terakhir bagi penyediaan pangan.
Subsistem distribusi pangan yang efektif dan efisien
sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumahtangga dapat memperoleh
pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik sepanjang waktu. Subsistem ini
mencakup aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun sosial atas pangan
secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan
rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup, melalui
berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan,
pembelian/barter, pemberian, pinjaman dan bantuan pangan. Akses pangan secara
fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun
kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih
bersifat kewilayahan dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses
pangan secara ekonomi menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang
ditunjukkan oleh harga, sumber mata pencaharian dan pendapatan. Sumber mata
pencaharian meliputi kemampuan, asset dan aktivitas yang dapat menjadi sumber
pendapatan. Seringkali, sumber mata pencaharian sangat dipengaruhi oleh kondisi
maupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Akses pangan secara sosial
antara lain dicerminkan oleh tingkat pendidikan, bantuan sosial, kebiasaan
makan, konflik sosial/keamanan. Dalam subsistem distribusi, hambatan yang
terjadi antara lain :
1.
1. Teknis
1.
Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi
darat dan antar pulau yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.
2.
Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan,
penyimpanan dan distribusi pangan , kecuali beras.
3.
Sistem distribusi pangan yang belum efisien.
4.
Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan
antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan agar
pangan tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah konsumen.
2. Sosial-ekonomi
a. Belum berperannya kelembagaan
pemasaran hasil pangan secara baik dalam menyangga kestabilan distribusi dan
harga pangan.
b. Masalah keamanan jalur distribusi
dan pungutan resmi pemerintah pusat dan daerah serta berbagai pungutan lainnya
sepanjang jalur distribusi dan pemasaran telah menghasilkan biaya distribusi
yang mahal dan meningkatkan harga produk pangan.
Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola
pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi,
keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini
menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai
pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur
menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal, pemeliharaan sanitasi dan
hygiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumahtangga. Hal ini
bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan pangan oleh tubuh. Kondisi konsumsi
pangan rumahtangga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ekonomi,
sosial dan budaya setempat.
1. Teknis
a. Belum
berkembangnya teknologi dan industri pangan berbasis sumber daya
pangan local.
b. Belum berkembangnya
produk pangan alternatif berbasis sumber daya pangan lokal.
2. Sosial-ekonomi
a. Tingginya konsumsi
beras per kapita per tahun (tertinggi di dunia > 100 kg, Thailand 60 kg,
Jepang 50 kg).
b. Kendala budaya dan
kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis sehingga tidak mendukung
terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi seimbang serta pemerataan konsumsi
pangan yang bergizi bagi anggota rumah tangg
c. Rendahnya
kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen atas perlunya pangan yang sehat
dan aman.
d. Ketidakmampuan bagi
penduduk miskin untuk mencukupi pangan dalam jumlah yang memadai sehingga aspek
gizi dan keamanan pangan belum menjadi perhatian utama.
2.3 Pengaruh Ketahanan Pangan terhadap Gizi Kesmas
Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap individu selalu
mendapatkan prioritas perhatian masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Perhatian atas pangan lebih mengemuka semenjak diadakannya
Worlds Food Summit oleh FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun
1974, tetapi masih kurang bisa diwujudkan. Kemudian pada tahun 1996 di Roma
dalam Declaration on World Food Security, FAO baru memberikan tekanan lebih
besar mengenai ketahanan pangan bagi setiap orang dan untuk melanjutkan upaya
menghilangkan kelaparan di seluruh dunia. Sasaran jangka menengah yang ingin
dicapai adalah “menurunkan jumlah orang yang kekurangan gizi menjadi
setengahnya paling lambat 2015” (Sukandar, dkk, 2001).
Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial,
yaitu berkaitan antar mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi,
distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator ketahanan
pangan rumah tangga dapat dicerminkankan melalui tingkat kerusakan tanaman,
tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu
konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996). Konsumsi pangan adalah
salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan
gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting dalam
menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang
dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan perkembangan fisik dan mental
(Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002).
Menurut Siswono (2002), status gizi seseorang sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi
dan budaya setempat. Tingginya pendapatan tidak diimbangi dengan pengetahuan
gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi konsumtif dalam pola makan
sehari hari. Dapat dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan makanan lebih
didasarkan pada pertimbangan selera ketimbang gizi. Sedangkan menurut Idrus dan
Kusnanto (1990), keadaan gizi adalah akibat dari keseimbangan antara konsumsi
dan penyerapan zat gizi serta penggunaan zat gizi tersebut. Sedangkan status
gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel variabel tertentu
status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan
oleh tubuh. Status gizi merupakan keadaan seseorang sebagai refleksi dari
konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh. Ketidakseimbangan antara intake
dengan kebutuhan mengakibatkan terjadinya malnutrisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar